Sejarah Rasulullah SAW (Bagian 1)
Kelahiran Muhammad
Bangsa
Arab di zaman dahulu memiliki kebiasaan menjadikan kejadian besar yang
ada sebagai patokan penanggalan. Peristiwa penyerangan pasukan Gajah
pimpinan Abrahah yang berniat menghancurkan Kabah di kota Mekah,
dianggap sebagai sebuah peristiwa besar yang layak dijadikan patokan
penanggalan. Di tahun pertama penanggalan Gajah ini, di kota Mekah dan
di tengah keluarga Abdul Mutthalib, lahir seorang bayi yang kelak akan
mengubah perjalanan sejalah manusia. Dialah Muhammad putra Abdullah bin
Abdul Mutthalib.
Kelahiran
bayi ini disambut dengan suka cita oleh keluarga bani Hasyim. Di negeri
Persia, kelahiran Muhammad bin Abdillah memadamkan api keramat yang
selama seribu tahun tidak padam. Kelahiran Muhammad juga menggoyahkan
sendi-sendi istana kaisar Rumawi. Muhammad lahir dengan membawa janji
risalah terakhir dari Allah untuk umat manusia.
Masa
sebelum kenabian lazim disebut nama jahiliyyah. Kata jahiliyyah diambil
dari kata jahl yang berarti bodoh. Dengan demikian, zaman jahiliyyah
berarti zaman kebodohan. Memang, bangsa Arab di zaman itu layak mendapat
sebutan ini. Karena selain memang tidak mengenal baca tulis, bangsa
yang hidup di jazirah Arabia ini juga memiliki kebiasaan dan perilaku
bodoh.
Menjadikan
berhala-berhala buatan sendiri sebagai tuhan untuk disembah dan dipuja,
mengubur anak perempuan hidup-hidup dan bertawaf mengelilingi Kabah
dengan cara bertelanjang, merupakan salah satu contoh dari perbuatan
bodoh bangsa ini di zaman itu. Muhammad lahir untuk mengikis kebodohan
bangsa Arab dan umat manusia secara umum dengan cahaya iman dan ilmu.
Sejak
lahir, Muhammad telah menunjukkan kelebihan yang khusus. Kehidupannya
yang dimulai dengan keyatiman karena ayahnya telah meninggal dunia
sebelum beliau lahir, penuh dengan kesusahan. Kesusahan inilah yang
menempa diri Muhammad dan mempersiapkannya untuk menjadi manusia besar
dan pemuka bagi seluruh umat sepanjang zaman. Empat tahun, Muhammad
hidup terpisah dari sang ibu, Aminah binti Wahb dan tinggal di tengah
keluarga Halimah as-Sa’diyah. Setelah berumur empat tahun dengan berat
hati, Halimah melepas Muhammad dan mengembalikannya kepada sang ibu.
Yatim Piatu
Dua
tahun kemudian, Aminah wafat, dan Muhammad diasuh oleh kakeknya, Abdul
Muththalib yang amat menyintai dan menghormatinya. Abdul Mutthalib yang
juga pemuka kaum Quresy telah meramalkan bahwa cucunya ini kelak akan
menjadi pemimpin besar bagi umat manusia. Karena itulah, kakek tua yang
amat berwibawa ini menghormati dan menyintai Muhammad lebih dari
cucu-cucunya yang lain.
Diriwayatkan
bahwa suatu hari Muhammad duduk di tempat yang dikhususkan untuk Abdul
Mutthalib. Orang-orang bangkit untuk melarangnya, tetapi Abdul Mutthalib
mengatakan bahwa Muhammad sangat layak untuk duduk di tempat itu.
Namun
keteduhan payung Abdul Mutthalib tidak berumur panjang. Menginjak usia
delapan tahun, Muhammad harus merelakan kepergian kakeknya itu. Akhirnya
Muhammad tinggl dan diasuh oleh Abu Thalib pamannya yang menyintainya
lebih dari anak-anak sendiri. Di rumah Abu Thalib inilah, beliau tumbuh
hingga menginjak usia remaja remaja.
Saat
berusia 12 tahun, Muhammad ikut menyertai pamannya, pergi ke Syam untuk
berniaga. Sudah menjadi kebiasaan kafilah dagang dari Mekah untuk
singgah beristirahat di tempat pendeta Buhaira. Kafilah Abu Thalib pun
singgah di sana. Pendeta Buhaira menyambut kedatangan kafilah itu dengan
tangan terbuka. Namun sang pendeta merasa ada keanehan. Kepada Abu
Thalib dia mengatakan bahwa dirinya menyaksikan sesuatu yang menakjubkan
di kafilah ini.
Abu
Thalib yang tidak mengetahui apa maksud sang pendeta menyatakan bahwa
dirinya tidak merasakan adanya keanehan. Hanya saja dia meninggalkan
kemenakannya yang bernama Muhammad di dalam kemah.
Mendengar
hal itu, Buhaira meminta Abu Thailb untuk membawa Muhammad masuk ke
rumahnya. Melihat remaja tampan dan sopan itu, Buhaira meminta izin Abu
Thalib untuk mengajaknya berbicara secara khusus. Sang pendeta membawa
Muhammad ke tempatnya. Gerak-gerik, tutur kata dan jengkal demi jengkal
tubuh Muhammad diperhatikannya. Selanjutnya Buhaira memanggil Abu Thalib
dan berkata, “Wahai Abu Thalib, kelak kemenakanmu ini akan diangkat
menjadi nabi. Dialah nabi yang dinanti-nantikan kedatangannya. Karena
itu, bawalah dia kembali ke Mekah dan jangan biarkan kaum Yahudi di
negeri Syam menyakitinya.”
Sesuai dengan anjuran pendeta Buhaira, Abu Thalib membawa Muhammad kembali ke Mekah.
Gelar al-Amin
Muhammad
tumbuh besar menjadi pemuda yang dikenal dengan kejujuran, sehingga
beliau mendapat gelar Al-Amin yang berarti orang yang terpercaya. Bagi
masyarakat kota Mekah, tidak ada orang yang bisa dipercaya lebih dari
Muhammad Al-Amin. Karena itu, ketika Abu Thalib mengusulkan kepada
Khadijah binti Khuwailid untuk menjadikan Muhammad sebagai kepercayaan
dalam perniagaannya, usulan itu disambut dengan merta merta. Pada usia
25 tahun, Muhammad melakukan perjalanan niaga ke Syam dengan membawa
barang dagangan milik Khadijah, wanita kaya di kota Mekah yang amat
disegani.
Untuk
memudahkan pekerjaan, Khadijah mengirimkan suruhannya bernama Maisarah
untuk menyertai dan membantu Muhammad. Kesopanan pemuda bergelar Al-Amin
ini, kejujuran dan kepiawaiannya dalam berdagang menarik perhatian
Maisarah. Perniagaan ini, membawa keuntungan yang banyak meski dalam
berdagang, Muhammad sangat memperhatikan masalah kejujuran. Seluruh
kisah perjalanan ini diceritakan oleh Maisarah kepada Khadijah.
Menikah Dengan Siti Khadijah AS
Dengan
usul Abu Thalib dan sambutan Khadijah, Muhammad datang meminang wanita
mulia ini. Perkawinan antara Muhammad Al-Amin dan Khadijah, disaksikan
oleh para malaikat di langit dan bumi. Dari dua manusia mulia ini, kelak
akan lahir seorang putri yang menjadi penghulu wanita seluruh jagat,
yaitu Fatimah Az-Zahra.
Sejarah Rasulullah SAWW (Bagian 2)
Masa Muda Al-Amin dan Risalah Ilahiyah
Sejak
kanak-kanak hingga menginjak usia dewasa, Muhammad dikenal oleh
masyarakat sebagai seorang yang memiliki kepribadian agung, jujur,
penyantun, gemar menolong mereka yang memerlukan dan berhati besar.
Ketinggian akhlak beliau membuat kagum bangsa Arab khususnya suku Quresy
di Mekah. Berbeda dengan para pemuda dan masyarakat di zaman itu,
Muhammad tidak tertarik kepada kehidupan yang hanya mengejar kesenangan
duniawi.
Pemuda
putra Abdullah bin Abdul Mutthalib ini gemar menyendiri di
lereng-lereng gunung atau di gua Hira untuk menghindari kehidupan syirik
dan menyibukkan diri dengan beribadah dan bermunajat kepada Allah.
Muhammad biasanya pergi ke gua Hira dengan membawa bekal dan akan turun
ke kota jika perbekalan habis. Pergi ke gua Hira, menyendiri dan
bermunajat di tempat yang sepi itu seorang diri akhirnya menjadi
kegiatan rutin pemuda bergelar Al-Amin ini.
Di
Hira, Muhammad menemukan ketenangan tersendiri yang tidak ia dapatkan
di Mekah. Akhirnya, pada suatu hari ketika usianya menginjak 40 tahun,
saat berada di dalam gua hira, Muhammad mendengar suara yang mengajaknya
untuk membaca. Untuk pertama kalinya, Muhammad menerima ayat yang turun
dari Allah swt. Iqra bismi rabbikalladzi khalaq, Bacalah dengan nama
Tuhanmu yang menciptakan. Ayat ini adalah yang pertama kalinya turun
kepada Muhammad yang menandai kenabiannya.
Tidak
sedikit orang yang mempersoalkan mengenai agama Nabi Muhammad SAW
sebelum menerima risalah kenabian. Permasalahan mengusik hati ketika
menyaksikan bahwa di zaman jahiliyyah, bangsa Arab khususnya di kota
Mekah, tempat Rasulullah SAW menjalani kehidupannya, adalah bangsa
penyembah berhala. Masing-masing kelompok dan kabilah memiliki berhala
tersendiri yang diletakkan di dalam ka’bah atau di komplek masjidul
haram. Sementara masing-masing orang memiliki berhala yang khusus yang
disimpan di rumah masing-masing atau di kantong khusus agar bisa dibawa
ke mana-mana.
Masalah
inilah yang lantas melahirkan pertanyaan mengenai agama yang dianut
oleh Rasulullah SAW sebelum diangkat menjadi nabi. Masalah kondisi di
zaman jahiliyah dan penyembahan berhala yang dianut oleh bangsa Arab
secara umum, adalah fakta sejarah yang tidak mungkin ditolak. Namun
harus diingat bahwa di jazirah Arabia juga ada agama lain semisal agama
Nasrani, Yahudi dan agama Ibrahimi.
Penduduk
Najran rata-rata beragama nasrani, sementara di kota Yasrib, nama lain
kota madinah, terdapat beberapa kabilah yang menganut agama Yahudi.
Selain dua agama itu, tidak sedikit pula yang menganut ajaran Nabi
Ibrahim as. Agama Ibrahimi ini dianut oleh sebagian besar bani Hasyim.
Bukankah ketika Abdul-Muththalib menamakan anaknya dengan nama Abdullah
yang berarti hamba Allah, menunjukkan bahwa tuhan yang sebenarnya di
mata Abdul Mutthalib adalah Allah, bukan selain-Nya.
Ketika
Allah mengangkatnya menjadi nabi dan utusan-Nya, Muhammad mengatakan
kepada umat bahwa dia membawa ajaran Ibrahim. Seruan ini dikarenakan
umat mengenal akan keberadaan ajaran yang demikian. Amalan ibadah
seperti haji, umrah dan semisalnya yang juga dianut oleh bangsa Arab
Jahiliyyah merupakan sisa-sisa ajaran Ibrahim as yang terus dijalankan
meski dengan cara yang berbeda dengan ajaran sebenarnya. Semua ini
menunjukkan bahwa tidak semua orang Arab di zaman itu menyembah berhala.
Jika hal ini bisa diterima, muncul pertanyaan;
Masuk
akalkah, orang yang bakal membawa ajaran agama ilahi yang paling
sempurna, tetapi tidak mengikuti ajaran Ibrahim dan terjerumus ke dalam
kesyirikan penyembahan berhala?
Jika
Muhammad pernah menyembah berhala, tentunya, saat beliau menyeru kaum
Quresy dan bangsa Arab untuk meninggalkan berhala, mereka akan
mengingatkan bahwa dia sendiri pernah menyembah berhala. Dalam sebuah
riwayat disebutkan bahwa Imam Ali bin Abi Thalib pernah bertanya kepada
Rasulullah, “Ya rasulullah, apakah engkau pernah menyembah berhala?”
Beliau menjawab, “Sama sekali tidak.”
“Apakah engkau pernah meminum khamar?”
beliau juga menjawab, “Sama sekali tidak pernah.”
Dengan
turunnya firman ilahi kepadanya dan turunnya perintah untuk mengajak
kaumnya kepada penyembahan tuhan yang maha esa, Nabi Muhammad SAW
menyampaikan misi mulia dan agung ini kepada sanak keluarganya. Orang
yang pertama-tama menerima ajakan ini adalah Khadijah istri setia
Rasulullah dan Ali bin Abi Thalib yang hidup dalam bimbingan dan asuhan
beliau. Ajakan dan seruan Nabi ini dilakukan secara sembunyi-sembunyi
dan kepada keluarga dekatnya.
Proses
dakwah secara sembunyi-sembunyi ini berlangsung selama tiga tahun,
sampai akhirnya Allah swt menurunkan ayat yang berisi perintah untuk
secara terbuka menyampaikan risalah ilahi ini kepada umat.
Dengan
berdiri di atas sebuah bukit, Rasulullah SAW bertanya kepada kaumnya,
“Wahai sekalian suku Quresy, jika akan katakan bahwa di belakang bukit
ini ada pasukan musuh yang datang menyerang, apakah kalian akan
mempercayai kata-kataku?”
Mereka menjawab, “Ya, pasti, sebab engkau adalah orang yang paling jujur.”
Rasulullah
berkata lagi, “Jika demikian, ketahuilah bahwa aku membawa risalah dan
ajaran dari Tuhan untuk kalian semua.” Rasulullah menjelaskan risalah
yang beliau pikul kepada kaum Quresy. Akan tetapi berbeda dengan
pernyataan awal mengenai kejujuran Muhammad Al-Amin, kali ini kaum
Quresy yang dimotori oleh para pemukanya yang kafir semisal Abu Sufyan,
Abu Jahal dan lainnya menuduh putra Abdullah ini telah membuat
kebohongan besar.
Sejak
saat itulah, dakwah kepada agama Islam dilakukan secara terbuka.
Seiring dengan sambutan orang-orang yang berhati bersih kepada ajaran
ini, sikap penentangan dan permusuhan kaum kafir terhadap ajaran ilahi
ini juga semakin meningkat. Para pemuka Quresy yang merasa posisi dan
kedudukan mereka terancam dengan adanya ajaran ilahi ini, serta merta
megambil sikap frontal terhadap Muhammad, para pengikut dan ajarannya.
Dengan memanfaatkan kedudukan, uang dan kekuatan, kaum kafir melakukan
penyiksaan terhadap para pengikut ajaran islam.
Bilal
bin Rabbah bekas budak Umayyah bin Khalaf, juga Yasir, istrinya
Sumayyah dan anaknya Ammar adalah contoh dari kaum muslimin lemah yang
menjadi korban penyiksaan. Bahkan Sumayyah dan Yasir gugur syahid
setelah menjalani penyiksaan kaum kafir Quresy yang tidak mengenal batas
kemanusiaan. Sementara Ammar terpaksa mengeluarkan kata-kata syirik
dari mulutnya meski hatinya tetap memegang teguh keimanan.
Gangguan
kaum kafir Quresy tidak hanya ditujukan kepada kaum muslimin, tetapi
juga kepada pemimpin dan nabi pembawa risalah, Muhammad bin Abdillah
SAW. Hanya saja, gangguan itu seberapa karena sikap Abu Thalib yang
mati-matian membela Muhammad dan ajarannya. Bagaimanapun juga, Abu
Thalib adalah figur yang sangat dihormati oleh kaum Quresy di Mekah.
Berkali-kali para pembesar Quresy mendatangi Abu Thalib agar
menghentikan aktifitas dakwah Muhammad yang menistakan berhala dan
mengajak masyarakat kepada Tuhan yang esa. Meski demikian, Abu Thalib
tetap pada pendiriannya untuk membela Muhammad dan ajarannya. Sikap Abu
Thalib ini telah menyulut kemarahan para pembesar Quresy yang lantas
memutuskan untuk memboikot Bani Hasyim dan para pengikut ajaran Islam.
Sejarah Rasulullah SAWW (Bagian 3)
Pada
pembahasan yang lalu telah disinggung bahwa kaum muslimin di kota
Mekah, khususnya mereka yang berasal dari kalangan budak atau
orang-orang yang memiliki kedudukan sosial rendah, mendapat perlakuan
buruk dari kaum kafir Quresy. Tidak sedikit dari mereka yang disiksa dan
ada pula yang dibunuh. Kondisi ini sangat menyulitkan umat Islam.
Akhirnya, untuk melepaskan diri dari penderitaan dan untuk menjaga agar
umat yang baru terbentuk tidak bisa dihancurkan, Rasulullah SAW
memerintahkan sekelompok umatnya untuk berhijrah ke negeri Habasyah yang
saat itu dipimpin oleh raja Najasyi.
Kelompok
muhajirin ke Habasyah dipimpin oleh Ja’far putra Abu Thalib. Kepergian
Ja’far dan rombongannya yang berjumlah kurang lebih delapan puluh orang
ke Habasyah membuat berang kaum kafir Mekah. Merekapun mengirimkan
utusan kepada raja Najasyi untuk menolak kehadiran kaum muslimin di
negerinya. Permintaan Quresy tidak langsung dikabulkan oleh Najasyi.
Raja yang beragama nasrani ini lantas memanggil Ja’far dan rombongannya
ke istana.
Di
tempat inilah dan di hadapan raja beserta para penasehat agamanya,
Ja’far menjelaskan maksud kedatangannya ke Habasyah. Putra Abu Thalib
ini dengan tegas mengatakan bahwa dia dan rombongannya, bukanlah budak
yang lari dari tuannya atau pembunuh yang lari dari tebusan darah.
Mereka lari dari Mekah hanya untuk menyelamatkan diri dari penyiksaan
dan tekanan yang dilakukan para pemuka Quresy terhadap mereka. Mereka
dianggap layak mendapat perlakuan buruk karena telah menyembah Tuhan
yang Esa dan menolak sujud kepada berhala.
Penjelasan
Ja’far bin Abi Thalib berhasil mematahkan makar utusan Quresy. Raja
Najasyi memerintahkan untuk mengembalikan semua hadiah yang dikirim
Quresy kepadanya. Utusan Mekah-pun meninggalkan negeri Habasyah. Untuk
kaum muhajirin ini, Najasyi memberikan izin tinggal di negerinya dengan
aman dan damai sampai kapanpun juga.
Pemboikotan Terhadap Bani Hasyim
Di
Mekah, kaum kafir Quresy semakin kalap, kala menyaksikan jumlah mereka
yang masuk agama Islam semakin bertambah. Pembesar-pembesar Mekah
semisal Hamzah bin Abdul Mutthalib juga telah mengumumkan keislamannya.
Hal ini membuat para pemuka Quresy berpikir untuk membunuh Nabi Muhammad
SAW. Akan tetapi membunuh Muhammad tidaklah mudah. Sebab, bagaimanapun
juga, bani Hasyim yang termasuk kelompok bangsawan Quresy tidak akan
setuju.
Quresy
membujuk Abu Thalib yang dipandang sebagai pelindung utama Rasulullah
agar bersedia menerima uang tebusan dua kali lipat dari tebusan biasa,
dan membiarkan Muhammad dibunuh. Pembunuhnya akan dipilih dari orang di
luar Quresy. Dengan demikian, pembunuhan atas diri Muhammad tidak akan
berbuntut pada perang saudara di Mekah. Usulan tersebut dipandang Abu
Thalib sebagai tanda keseriusan Quresy untuk membunuh Nabi. Akhirnya Abu
Thalib memanggil seluruh anggota keluarga bani Hasyim agar berkumpul di
lembah Abu Thalib untuk melindungi Muhammad dari upaya teror yang
direncanakan Quresy terhadapnya.
Bulan
Muharram tahun ke-7 kenabian, kaum kafir Quresy menyusun sebuah
perjanjian yang berisi pemboikotan terhadap bani Hasyim. Berdasarkan
perjanjian ini, segala bentuk jual beli, pernikahan dan hubungan dengan
bani Hasyim dilarang. Pemboikotan ini telah menyebabkan bani Hasyim yang
berada di lembah atau syi’b Abu Thalib kesulitan mendapatkan bahan
pangan dan keperluan hidup lainnya.
Pemboikotan
ini dimaksudkan untuk memaksa bani Hasyim khususnya Abu Thalib, agar
bersedia menyerahkan Muhammad kepada Quresy untuk dibunuh. Tekad mereka
untuk menghabisi nabi terakhir ini, sedemikian kuat sehingga Abu Thalib
memperkuat penjagaan atas diri Rasulullah. Di malam hari, Abu Thalib
memerintahkan salah seorang dari bani Hasyim untuk tidur di pembaringan
Rasulullah, demi menjaga keselamatan Nabi bergelar Al-Amin ini.
Kondisi
serba sulit ini berlangsung selama tiga tahun. Selama itulah, mereka
yang berada di dalam syi’b bergelut dengan rasa lapar dan keterasingan.
Pekik tangis anak-anak bayi dari keluarga bani Hasyim yang kelaparan
terkadang terdengar sampai ke luar lembah itu. Bagi sebagian orang
Quresy, keadaan ini sungguh menyiksa batin mereka. Karena itu, mereka
sepakat untuk mencabut boikot atas bani Hasyim.
‘Tahun Kesedihan (‘Amul Huzn )
Tahun
sepuluh kenabian, setelah bani Hasyim keluar dari syib Abu Thalib dan
terlepas dari pemboikotan, Abu Thalib dan Khadijah binti Khuwailid,
paman dan istri Nabi yang selama ini menjadi pelindung dan pembela
risalah kenabian, meninggal dunia. Wafatnya kedua manusia agung ini
menjadi pukulan berat bagi Nabi. Betapa tidak, di saat kaum Quresy
berniat membunuh beliau, Abu Thalib siap berkorban untuk melindungi
Rasulullah
Setelah
Abu Thalib dan Khadijah wafat, dan setelah menyaksikan penentangan kaum
Quresy, Nabi SAW pergi ke kota Thaif untuk mengajak warga di kota itu
kepada agama Islam. Tetapi warga Thaif menyambut Nabi dengan lemparan
batu dan cacian. Akibat kekurangajaran warga Thaif, malaikat Jibril
mendatangi Rasulullah dan meminta izin untuk menghukum mereka. Tetapi
nabi yang oleh Allah disebut sebagai orang yang penyayang ini menolak
sambial mengatakan, “Ya Allah ampunilah kaumnya, karena mereka tidak
mengetahui kebenaran yang aku bawa.”
Keislaman Aus dan Khazraj
Setelah
kembali ke kota Mekah, Nabi memfokuskan dakwahnya kepada suku-suku Arab
lainnya yang berdatangan ke kota itu untuk melaksanakan ibadah haji.
Dari situlah, beliau berkenalan dengan orang-orang Aus dan Khazraj,
penduduk kota Yatsrib yang kemudian berubah nama menjadi Madinah. Di
Yatsrib, suku Aus dan Khazraj merupakan musuh bebuyutan yang sejak lama
terlibat perang saudara. Di kota itu, hidup pula suku-suku beragama
Yahudi yang sering mengabarkan kepada mereka akan kedatangan Nabi di
akhir zaman.
Setelah
berkenalan dengan Nabi Muhammad SAW dan ajara yang dibawanya,
orang-orang dari Aus dan Khazraj menyatakan ikrar keimanan kepada
beliau. Mereka bahkan mengingat janji dan baiat dengan Nabi. Orang-orang
Aus dan Khazraj yang telah menemukan seorang pemimpin yang dapat
mengakhiri permusuhan di antara mereka, menawarkan kepada Rasulullah SAW
agar beliau bersedia berhijrah ke kota mereka.
Sesuai
dengan tawaran itu, dan dengan perintah Allah swt, Rasul SAW
memerintahkan kaum muslimin Mekah untuk berhijrah ke Madinah. Rombongan
demi rombongan kaum muslimin Mekah bergerak ke arah Yastrib. Gelombang
hijrah ini terus berlanjut dan berpuncak pada hijrah Nabi ke kota itu.
Sejarah Rasulullah SAW (Bagian 4)
Hijrah
yang berarti perpindahan dianggap sebagai salah satu ibadah dengan
nilai pahala yang tinggi. Dalam banyak ayat Al-Qur’an Allah swt
menjelaskan kemuliaan ibadah ini dan menjanjikan ganjaran yang berlipat
ganda kepada mereka yang berhijrah. Sebab, selain kesulitan yang
dihadapi seorang muhajir baik kesulitan karena meninggalkan negeri asal,
kesulitan di negara baru dan banyak hal lain, hijrah juga dimaksudkan
untuk menjaga dan memelihara agama dan risalah ilahi yang terakhir ini.
Di
negeri yang baru, langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah SAW
adalah membangun masjid yang merupakan pusat kegiatan Islam dan
pemersatu
ah. Di saat kaum kafir memboikot Nabi secara ekonomi, Khadijah
menginfakkan seluruh hartanya untuk perjuangan Islam. Tahun 10 kenabian
disebut oleh Rasulullah sebagai ‘amul huzn yang berarti tahun kesedihan
karena kepergian dua insan pembela risalah kenabian.